Beranda | Artikel
Tiada Izzah Tanpa Tauhid dan Sunnah
Rabu, 5 Mei 2010

Sesungguhnya izzah atau kemuliaan merupakan perkara yang sangat dirindukan oleh para pejuang Islam yang tulus di berbagai penjuru bumi. Apa pun akan mereka korbankan demi menggapainya, waktu, tenaga, pikiran, harta, bahkan kalau perlu nyawa mereka pun rela untuk mereka pertaruhkan di jalan Allah ta’ala. Sementara kemuliaan tersebut tidak akan bisa digapai kecuali dengan pertolongan dan taufik dari Allah ta’ala. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Allah adalah penolong bagi orang-orang yang beriman, Allah akan mengeluarkan mereka dari kegelapan-kegelapan menuju cahaya. Adapun orang-orang kafir, penolong-penolong mereka adalah thaghut, yang mengeluarkan mereka dari cahaya menuju kegelapan. Mereka itulah para penduduk neraka, mereka kekal di dalamnya.” (QS. al-Baqarah: 257)

Kemenangan dan kemuliaan itu tidak akan diraih kecuali dengan mengabdi kepada Allah dengan sepenuh jiwa dan raga, dengan keimanan dan amal salih, dengan rasa cinta dan pegagungan, dengan mewujudkan tauhid yang bersih dan berpegang teguh dengan Sunnah Nabi-Nya shallallahu ‘alahi wa sallam. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Allah menjanjikan kepada orang-orang yang beriman dan beramal salih di antara kalian, sungguh Allah akan menjadikan mereka berkuasa di atas muka bumi ini sebagaimana Allah telah mengangkat orang-orang sebelum mereka menjadi pemimpin, dan sungguh Allah akan meneguhkan bagi mereka agama yang diridhai oleh-Nya untuk mereka dan Allah akan menggantikan bagi mereka keadaan yang penuh rasa takut dengan keamanan. Mereka itu senantiasa beribadah kepada-Ku dan tidak mempersekutukan-Ku dengan sesuatu apapun…” (QS. an-Nuur: 55)

Karena tauhid yang murni merupakan tujuan hidup jin dan manusia di alam dunia. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku.” (QS. adz-Dzariyat: 56).

Dengan sebab tauhid itulah Allah akan memuliakan hamba-hamba-Nya. Dengan sebab tauhid itulah Allah akan menerima amal-amal mereka. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Barangsiapa yang menghendaki perjumpaan dengan Rabbnya maka hendaklah dia melakukan amal salih dan tidak mempersekutukan Rabbnya dalam beribadah kepada-Nya dengan sesuatu apapun.” (QS. al-Kahfi: 110).

Allah akan menolak amalan orang-orang musyrik meskipun mereka telah bersusah payah dan bercapek-capek dalam melakukannya. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Sungguh, telah diwahyukan kepadamu dan kepada orang-orang sebelummu; apabila kamu berbuat syirik niscaya akan musnah semua amalmu dan kamu pasti termasuk golongan orang-orang yang merugi.” (QS. az-Zumar: 65).

Karena tauhid adalah hak-Nya yang paling agung. Barangsiapa yang menyia-nyiakan hak ini maka dia telah melecehkan Rabbul ‘alamin, tidak berterima kasih kepada ar-Rahman ar-Rahim, dan tidak menyimpan rasa takut kepada Maliki Yaumid din. Allah ta’ala berfirman mengisahkan nasehat Luqman kepada putranya (yang artinya), “Wahai putraku, janganlah kamu mempersekutukan Allah. Sesungguhnya syirik itu adalah kezaliman yang sangat besar.” (QS. Luqman: 13)

Inilah dakwah seorang anak yang pandai berterima kasih kepada ayahnya. Dengan sebab tauhid itulah akan tercipta kebahagiaan hidup sebuah keluarga. Sebagaimana yang Allah ceritakan mengenai ajakan Nabi Ibrahim ‘alaihis salam kepada ayahnya (yang artinya), “Wahai ayahku, mengapa engkau menyembah sesuatu yang tidak bisa mendengar dan tidak melihat bahkan tidak mencukupi bagi dirimu barang sedikitpun.” (QS. Maryam: 42)

Demikian pula keamanan, ketentraman dan petunjuk akan diberikan oleh Allah kepada masyarakat yang bertauhid dan mengagungkan Rabbul ‘alamin. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuri keimanan mereka dengan kezaliman/syirik, mereka itulah orang-orang yang akan mendapatkan rasa aman dan diberikan petunjuk.” (QS. al-An’am: 82).

Padahal, kita juga menyadari bahwa tidak akan berubah nasib suatu kaum sampai mereka mau merubah apa-apa yang ada pada diri mereka sendiri. Allah ta’ala telah menegaskan hal ini dalam ayat-Nya (yang artinya), “Sesungguhnya Allah tidak akan merubah nasib suatu kaum sampai mereka merubah apa-apa yang ada pada diri mereka sendiri.” (QS. ar-Ra’d: 11)

Oleh sebab itulah, Allah menjadikan dakwah tauhid sebagai misi utama dakwah para nabi dan rasul. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Sungguh Kami telah mengutus kepada setiap umat seorang rasul yang mengajak; sembahlah Allah dan jauhilah thaghut.” (QS. an-Nahl: 36).

Tidak ada seorang pun rasul melainkan menjadikan dakwah tauhid ini sebagai seruan yang paling utama kepada masyarakatnya. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Tidaklah Kami mengutus sebelummu seorang rasul pun melainkan kami wahyukan kepadanya bahwa tidak ada sesembahan -yang benar- selain Aku, oleh sebab itu maka sembahlah Aku saja.” (QS. al-Anbiya’: 25)

Maka melecehkan dakwah tauhid dan mengesampingkannya merupakan penghinaan kepada manhaj dakwah para nabi dan rasul yang Allah ta’ala telah menjadikan mereka sebagai teladan bagi para da’i yang ingin mengantarkan umat ini menuju kemuliaannya. Dan yang terdepan di antara mereka -yang telah menghabiskan umurnya untuk mendakwahkan tauhid ini- adalah Nabi kita Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Yang Allah ta’ala berfirman kepada beliau (yang artinya), “Katakanlah; inilah jalanku, aku menyeru -kalian- kepada Allah (yaitu untuk mengabdi kepada-Nya) di atas ilmu, inilah jalanku dan jalan orang-orang yang mengikutiku, dan sama sekali aku bukan termasuk golongan orang musyrik.” (QS. Yusuf: 108)

Dengan memegang teguh Sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam akan mengantarkan umat ini menuju kejayaan yang didamba-dambakan. Allah ta’ala telah menegaskan dalam firman-Nya (yang artinya), “Barangsiapa yang taat kepada Allah dan rasul-Nya maka sesungguhnya dia pasti akan mendapatkan keberuntungan yang sangat besar.” (QS. al-Ahzab: 71)

Karena menaati rasul merupakan bentuk ketaatan kepada Allah. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Barangsiapa yang menaati rasul sesungguhnya dia telah menaati Allah.” (QS. an-Nisaa’: 80). Sedangkan meninggalkan ketundukan kepada Sunnah beliau merupakan sumber kebinasaan. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Barangsiapa yang menentang rasul setelah jelas baginya petunjuk dan dia mengikuti selain jalannya orang-orang yang beriman maka Kami akan membiarkannya terombang-ambing dalam kesesatan yang dipilihnya dan Kami akan memasukkannya ke dalam Jahannam, dan sesungguhnya Jahannam itu adalah seburuk-buruk tempat kembali.” (QS. an-Nisaa’: 115)

Menyelisihi ketetapan dan ajaran Rasul adalah akar kehinaan dan keterpurukan. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Tidak pantas bagi seorang mukmin laki-laki atau perempuan apabila Allah dan rasul-Nya telah menetapkan suatu perkara kemudian masih ada bagi mereka pilihan yang lain dalam urusan mereka. Barangsiapa yang durhaka kepada Allah dan rasul-Nya maka sesungguhnya dia telah tersesat dengan kesesatan yang amat nyata.” (QS. al-Ahzab: 36)

Karena kepasrahan kepada tuntunan dan hukum Rasul merupakan bukti keimanan. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Maka demi Rabbmu, sekali-kali mereka tidak beriman sampai mereka menjadikan kamu sebagai hakim/pemutus perkara dalam perkara apa saja yang mereka perselisihkan di antara mereka, kemudian mereka tidak mendapati rasa sempit di dalam hatinya atas apa yang telah kamu putuskan dan mereka senantiasa pasrah dengan sepenuhnya.” (QS. an-Nisaa’: 65)

Orang-orang yang menyimpang dari Sunnah dan hukum rasul akan merasakan pahitnya kekalahan dan kerendahan akibat tindakan bodoh mereka meninggalkan petunjuk dan memilih tenggelam dalam kesesatan. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Hendaklah merasa takut orang-orang yang menyimpang dari urusan rasul itu, karena mereka itu akan tertimpa fitnah atau mendapatkan azab yang sangat menyakitkan.” (QS. an-Nuur: 63)

Berpaling dari Sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam akan menyeret kepada murka Allah dan terhalang dari curahan ampunan-Nya. Allah ta’ala berfirman kepada Nabi-Nya (yang artinya), “Katakanlah; jika kalian benar-benar mencintai Allah maka ikutilah aku, niscaya Allah akan mencintai kalian dan mengampuni dosa-dosa kalian.” (QS. Ali Imran : 31)

Lihatlah, para sahabat radhiyallahu’anhum generasi terbaik yang menjadi teladan bagi masyarakat umat Islam di sepanjang jaman. Mereka telah menunjukkan kepada kita pembelaannya terhadap tauhid, kesetiaannya kepada Sunnah serta kebenciannya kepada syirik dan sikap berlepas diri mereka dari segala amalan dan keyakinan bid’ah. Mereka dipuji oleh Allah dan diabadikan dalam Kitab-Nya yang mulia (yang artinya), “Orang-orang yang terdahulu dan pertama-tama yaitu kalangan Muhajirin dan Anshar serta orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan mereka pun pasti akan ridha kepada-Nya. Allah persiapkan untuk mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di bawahnya, mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Dan itulah kemenangan yang sangat besar.” (QS. at-Taubah: 100)

Mereka -para sahabat- adalah sosok pengibar panji-panji tauhid, singa-singa pembela Sunnah, dan pribadi-pribadi yang sangat mengagungkan syari’ah. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memerintahkan kita untuk mengikuti jalan mereka agar selamat dari perpecahan dan kehancuran. Maka mengikuti jalan hidup dan manhaj dakwah mereka adalah jalan kemuliaan dan kejayaan, sedangkan menyimpang darinya merupakan sebab kesesatan dan kebinasaan. Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu’anhu berkata, “Ikutilah tuntunan, jangan kalian mengada-adakan ajaran baru. Karena kalian telah dicukupkan.” al-Auza’i rahimahullah berkata, “Wajib atas kalian untuk mengikuti jejak orang-orang yang terdahulu/para salaf (yaitu para sahabat)…”. Imam Malik rahimahullah berkata, “as-Sunnah merupakan bahtera Nabi Nuh. Barangsiapa yang menaikinya akan selamat, dan barangsiapa yang tertinggal darinya maka akan tenggelam.” Imam Ahmad rahimahullah berkata, “Pokok ajaran Sunnah menurut kami adalah; berpegang teguh dengan pemahaman para sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam serta meneladani mereka, dan meninggalkan segala macam bid’ah.” (lihat Kun Salafiyan ‘alal Jaddah, hal. 47)

Oleh sebab itu siapa pun di antara para da’i Islam yang ingin mengantarkan umat ini menuju kemuliaan, maka tidak ada cara lain bagi mereka selain mendakwahkan tauhid dan sunnah serta memerangi segala bentuk syirik dan bid’ah. Inilah manhaj para sahabat yang berhasil mengantarkan mereka menjadi manusia-manusia yang dimuliakan oleh Allah ta’ala di dunia dan di akherat. Imam Malik rahimahullah mengingatkan, “Tidak akan bisa memperbaiki keadaan generasi akhir umat ini kecuali sesuatu yang telah berhasil memperbaiki generasi awalnya.” Allahul muwaffiq.


Artikel asli: http://abumushlih.com/tiada-izzah-tanpa-tauhid-dan-sunnah.html/